Gadung Melati
Banjarrejo. Desa yang malas bersolek.
Bahkan jika mendiang Umar Kayam menulis ulang “Para Priyayi” akan terkejut
karena Banjarrejo tak ubahnya Wanagalih di kala itu. Desa ini terletak di
pinggir jalan Daendels. Aku hanya berani menyebut desa ini, karena sesungguhnya
desaku ada di arah pedalaman hutan jati. Desa Pelem Gadung.
“Beli monyet saya, Oom! Murah. Cuma
seribu rupiah kok!” Kataku pada seorang lelaki yang baru turun dari mobil.
Diikuti perempuan cantik, kukira itu isterinya, bersama dua putri kecil yang
menyamai kecantikan perempuan yang kuduga ibunya itu.
“Terima kasih. Aku cuma mau istirahat
sambil minum degan!” Kata lelaki itu sambil tersenyum.
“Tolonglah, Oom! Buat
biaya sekolah, Oom!” Aku tak tahu, apakah perkataanku benar. Di desaku, biaya
sekolah hanya dibayar dengan seikat ketela atau jagung. Dan hanya ada satu SD
di tahun 70-an itu. Selepas SD kebanya-
kan dari kami hanya berladang dan menggembala sapi, mengikuti
naluri denyut hidup yang selaras dengan kawasan hutan jati. Di kala senggang,
para lelaki akan berburu monyet, dan dijajakan di pinggir jalan Daendels ini.
Lelaki itu
cuma tersenyum. Dipesannya minuman degan pada Mbokdhe Legi.
Aku cuma bisa
menelan ludah menyaksikan keluarga yang tampaknya kaya dan bahagia itu. Kuamati
patung Gubernur Suryo di tengah taman di pinggir hutan jati. Aku tidak tahu,
siapa yang ditunjuk oleh patung itu. Nasib burukku yang hidup di desa dan tak
pernah berubah ini? Para pejalan yang melintas jalan raya Daendels dan tak
pernah mau peduli pada kami?
“Mas,
kemarilah!” Tiba-tiba lelaki itu memanggil.
Aku tak berani
mendekat.
Keluarga yang
kuduga kaya itu duduk lesehan di atas tikar pandan. “Ke sini!” kata
lelaki itu lagi sambil melambaikan tangan.
Seakan ada
magnet yang menggerakkan kakiku. Aku tak berpikiran apa-apa selain mendekat
pada keluarga itu.
“Siapa namamu,
Cah bagus?” Kini perempuan yang kuduga istri lelaki itu bertanya.
“Mur, nyonya!
Muruba.”
“Muruba?”
tanya perempuan itu lagi seakan tak percaya dengan namaku.
“Ya, nyonya!”
“Luar biasa!
Semoga menyala dan bercahaya hidupmu, Mas!” Lelaki itu menimpali.
“Berapa umurmu?”
Nyonya itu bertanya lagi.
“Tidak tahu!”
Kedua orang
tua itu mengernyitkan alis. “Lha, sekarang Mas sudah kelas berapa?”
“Enam, tuan!”
“Mau sekolah
di Yogya?”
Dan selang
beberapa lama kulihat Emak hanya dapat tersimpuh ketika Pak Harsono, lelaki
itu, meminta Emak untuk melepaskan aku pergi ke Yogya. Entahlah, di mana kota
itu. Ketika itu.
***
Hutan Lipur
Tanjung Gadung. Nama yang mirip dengan desaku nun jauh di pinggir hutan jati.
Terletak di Hutan Simpan Bukit Bauk, Daerah Dungun. Berjarak 11 km dari Bandar
Dungun melalui jalan raya Dungun-Kuala Terengganu, 70 km dari Kuala Terengganu.
Untuk sampai ke hutan ini, pengunjung dapat menggunakan kendaraan sendiri atau
angkutan umum dari Bandar Dungun.
Sebagian dari
tempat ini lebih mirip sebagai hutan wisata. Banyak orang berkunjung dan
berkemah. Juga bermandi-ria. Memancing di payau atau di danau yang jernih
airnya. Atau sekadar bermain sambil menikmati keindahan alam hutan yang masih
asri. Kadang-kadang datang serombongan orang-orang kota yang ingin berlibur
sambil menghirup udara hutan.
Meski
demikian, agak jauh ke dalam, di balik pagar berduri yang rapat di seberang
sungai Kuala Hitam, orang dapat melihat kehidupan liar di dalam hutan. Lengking
rusa yang sedang mencari pasangannya. Atau auman harimau yang hendak menerkam
mangsanya. Teriakan monyet yang bergelantungan di dahan tinggi. Atau sekadar
mendengar desau angin di tengah rimbunnya hutan.
Di batas
hutan, terhampar pesisir pantai Laut China Selatan. Aku cukup menatap dari
balik jendela paviliun, di belakang laboratorium, maka ombak akan tampak
memukul-mukul pantai. Tanpa mengenal lelah, sepanjang zaman ombak akan terus
menampar-nampar hamparan pasir putih itu. Seperti tamparan Emak dengan
perkataan yang menyentak perasaan maluku.
“Kamu harus
pulang, le! Sebelum aku pergi menyusul bapakmu, aku ingin sekali mencium
bau keringatmu! Keringat yang kautumpahkan dari kuda di selangkanganmu. Sudah
lama desa kita sepi. Tak ada lagi anak-anak yang mau memainkan kuda lumping.”
Begitu kata Emak, melalui coretan tangan adikku dalam surat yang kuterima
setahun lalu.
Aku
tergidik. Aku telah jauh meninggalkan masa laluku. Sudah berapa tahunkah ayah
meninggal? Apakah sejak itu juga tidak ada lagi tukang timbul? Bagaimana
keadaan Emak sekarang? Apakah masih seteduh telaga di tengah hutan, tempat
dongengan tentang cupu manik Dewi Anjani? Ah, ya! Bagaimana pula Pak Harsono,
guru SMA-ku di Yogya yang mendorongku memenuhi panggilan dari Universitas
Kebangsaan ini?
Aku masih
ingat bagaimana perasaan galau menyergap segenap kesadaranku. Keinginanku untuk
melanjutkan pendidikan terbuka lebar, begitu lamaran yang kukirim ke UKM
diterima. Aku tak sempat berpamitan pada Emak, kecuali mengirim surat pendek
yang kutulis dengan tergesa-gesa. Aku sampaikan permintaan doa restu Emak, juga
harapanku untuk membuka lembaran kehidupan yang tak pernah kubayangkan
sebelumnya.
“Mas Mur, ini
kesempatan yang belum tentu datang dua kali. Sekali engkau membatalkan
keberangkatan kali ini, mungkin semua impianmu terkubur dalam penyesalan
sepanjang umur!” kata Pak Harsono ketika itu.
“Ayahku
bagaimana? Rasanya ayah ingin menahanku barang sekejap, meskipun dalam
batinnya!” sergahku. Aku ingin sekali pulang lebih dulu ke Pelem Gadung.
Menemui Emak, dan terutama menengok ayah yang tergolek tanpa daya di atas dipan
peninggalan kakek.
Pak Harsono
terdiam. Dia mungkin juga bimbang dengan kegalauanku. “Memang pilihan yang
tidak mudah untuk diambil, Mur!” kata Pak Harsono yang juga tidak memberi
pilihan yang mudah.
Kabar dari
Emak, lewat surat yang begitu terlambat kuterima di Yogya menjelang
keberangkatanku ke Malaysia, ayahku sedang menjemput maut di tengah sakit
menahun yang terus disembunyikannya. Jika semula ayah hanya mengaku rematik,
dan Emak dengan tekun mengais tanaman umbi gadung di pinggir hutan untuk mengobati
sakit ayahku, kini ayah tak bisa lagi membohongi keluarganya.
Ayah mengalami proses pengeroposan tulang. Kakinya memendek
sebelah. Kalau berjalan tertatih-tatih sambil menyeringai, sebelum akhirnya
lumpuh. Dan dalam penderitaan yang merambat pelan sepanjang bulan-bulan
terakhir kehidupannya, kami tak bisa lagi berbuat apa pun, kecuali bermunajad
kepada-Nya. Memohon mukjizat buat kesembuhan ayahku.
Aku hanya bisa menjerit dalam diam yang sesak, ketika pesawat
membawaku melintasi kota-kota, melampaui hamparan sawah, dan melampaukan semua
kenangan di desa. Tanpa sadar segala ingatanku seakan tertinggal di rumah, di
desa Pelem Gadung di pinggiran hutan jati. Jalan menikung yang menghubungkan
desaku dengan jalan raya Daendels semakin jauh dari ingatanku.
***
Aku tengah menyiapkan bab terakhir tesis masterku. Juga
ringkasan hasil riset yang akan kukirim ke jurnal di
http://worldforestry.journal.ukm.ac.id. Hatiku mengembang ketika uji
laboratorium menunjukkan hasil positif. Penelitian yang kulakukan berfokus
tentang pengaruh pemberian perasan umbi gadung terhadap oogenesis mencit.
Penelitianku menemukan, ternyata perasan umbi gadung menghambat siklus ovarii
yang dampaknya memengaruhi fungsi oogenesis.
Dan mengapa
harus umbi gadung? Ada perasaan aneh yang tiba-tiba menjalar dalam benakku.
Perasaan kikuk, malu bercampur kagum ketika Emak –dalam surat yang ditulis oleh
adikku- dengan sangat enteng mencemooh proposal riset tentang khasiat umbi
gadung yang kuceritakan.
“Walah, le.
Begitu jauh engkau menimba ilmu di negeri orang. Lha, kalau hanya mau belajar
umbi gadung, di desamu kan banyak. Tinggal pergi ke belakang rumah, di
sepanjang pagar lamtoro itu kamu kan tinggal milih. Bahkan kalau engkau
tetap di desa, engkau bisa ikut nguri-uri kebanggaan orang-orang tua!”
Maksudnya, kesenian kuda lumping di desa kami yang
kata Emak kini tak mampu menawan hati anak-anak
muda.
Emak mungkin salah pendapat jika aku harus tetap terbenam di
desa yang tak pernah berkembang itu. Namun Emak juga benar. Bahkan aku harus
tertawa sendiri ketika teringat masa kecilku bermain layang-layang dari daun
gadung yang telah mengering. Ketika anak-anak yang lebih besar dapat
menerbangkan bapangan yang ditarik dengan kenur, serat pohon waru
yang dipilin memanjang, aku bersama anak-anak sebaya hanya bisa memandangi
mereka.
Sudah
lazim di desaku, ketika musim kemarau tiba kami mulai menekuri jalan tradisi
yang diwariskan para leluhur kami. Nasi jagung mulai berkurang. Lalu kami akan
segera mengais umbi gadung di dalam tanah yang mulai retak di pinggir hutan.
Sebuah ritual kanak-kanak yang kami jalani tanpa diajari. Seperti juga ketika
kami dengan rakus merambah lamtoro muda, dengan berbekal garam sejumput, lalu
kami akan rujakan.
Kami
sudah terbiasa makan umbi gadung meskipun beracun. Agar dapat dimakan, kami
mempunyai teknologi sendiri. Mula-mula umbi dipotong tipis-tipis, kemudian
direndam dalam air yang telah dibubuhi garam. Umbi terus dialiri air sampai air
cuciannya tidak berwarna putih. Setelah itu dijemur di panas matahari. Barulah
dikukus. Barulah dimakan. Barulah kami kenyang sambil mengelus perut yang
membuncit.
Tidak lupa, kami pun memetik daun gadung yang mulai kering.
Kami akan membuat layang-layang. Dan ketika angin hutan tak kunjung datang,
kami pun akan memanggil-manggil dengan tembang-tembang alam yang kami hafal. //Barat..
barat mreneya; ulukna layanganku; tak upahi sega tahu… (Angin…angin… ke
sinilah; terbangkan layang-layangku; nanti aku beri upah nasih tahu)//
Kami akan mengulang-ulang
panggilan itu sampai angin datang. Dan kami pun akan bersorak kegirangan,
sampai-sampai kaki kami terlonjak. Lalu kami pun berlari menerbangkan
layang-layang dari daun gadung itu. Kami ambil serat kulit pisang kering
sebagai tali penarik. Begitulah seharian kami bisa menikmati sebuah kegembiraan
yang tak mungkin dimiliki anak-anak kota.
Bila purnama tiba –dan aku pulang liburan semasa sekolah di
Yogya dulu- para lelaki di desa kami akan berkumpul di tanah lapang, di depan
balai desa. Kami akan memainkan kesenian kuda lumping. Kami punya paguyuban
seni “Gadung Melati” dengan enam set kuda kepang dan satu topeng kepala kuda
yang terbuat dari kayu. Seperti biasa, anak-anak dan perempuan akan mengitari
lapangan dan pada saatnya nanti bersorak mengiringi pemain yang mulai kesurupan
Ditingkahi
gendang rampak dan tetabuhan yang makin bersemangat, di sela-sela lecutan
cemeti yang membelah udara malam, kami pun makin kesetanan memainkan gerak kuda
lumping. Pada saat kesadaran kami mulai melayang, kami pun dengan napas
mendengus mulai menggigit, mengunyah, dan menelan kaca semprong, diiringi jerit
kengerian para penonton.
Ketika iringan
gamelan mulai reda, ayahku akan tampil untuk nimbul pemain yang
kesurupan. Pemain kuda lumping itu akan mulai merasakan keletihan yang luar
biasa, karena dalam keadaan trace kami seakan tak punya pusar. Bergerak
dengan kecepatan tinggi dalam tarian prajurit berkuda sepanjang tiga empat jam
tanpa henti. Bahkan kami juga tak merasakan pedih, meski lidah dan bibir kami
berdarah-darah.
***
“Tuan Muruba,
tehnya telah siap di beranda!” Tiba-tiba Sri memecah konsentrasiku. Perempuan
lima puluh tahunan itu seolah menyadarkan keberadaanku di sini. Menurut
ceritanya, ia telah empat belas tahun terakhir ini bekerja di kompleks pegawai
kehutanan. Semula ia bekerja di perusahaan perkebunan karet di seberang hutan
Tanjung Gadung.
Namun semenjak
Pemerintah Malaysia mengancam akan mendeportasi para pendatang haram, termasuk
Sri yang diselundupkan masuk tanpa dokumen keimigrasian, aku mengakukan dia
sebagai saudara tuaku. Betapa pun ganjil pengakuan ini, tentu juga berkat
bantuan teman-teman di konsulat Terengganu nyatanya Sri aman dari incaran
polisi diraja.
“Tuan, tehnya hampir dingin !” Sri ingin mengingatkanku
“Terima kasih mbakyu!” Aku risih juga dipanggil dengan
sebutan itu, betapa pun sejak semula Sri sudah kularang menyebut ‘Tuan’ di
depan namaku.
Waktu itu Sri
berkilah, “Nanti saya kualat, Tuan. Saya telah berutang nyawa pada Tuan. Kalau
bukan karena kebaikan Tuan, saya pasti kembali terapung-apung di laut tanpa
kepastian!”
“Sudahlah.
Ingat, mbakyu! Aku juga berasal dari Indonesia. Malah jauh di pedalaman,
di pinggiran hutan”. Aku ingin menghibur wanita asal Pacitan, yang mengaku
telah menjanda itu. Kabarnya, suami yang ditinggal di Pacitan telah kawin lagi
dengan tetangga. “Oh ya, mbakyu jadi mau pulang?”
“Kalau Tuan
mengizinkan!” jawabnya sambil tertunduk. Maksudnya, Sri mau pulang jika
sekiranya studiku rampung dan aku segera kembali ke Indonesia.
Permintaan
Sri wajar saja. Namun pikiranku cukup risau mengingat tawaran Pemerintah
Malaysia yang memintaku tetap bekerja di sini. Hasil penelitian pendahuluanku
telah dipatenkan di sini. Aku pun telah menyetujui kontrak penyerahan hak paten
itu pada perusahaan farmasi dengan kompensasi yang membuatku rikuh dengan
sejawatku di Indonesia.
Bayangkan!
Peneliti di Indonesia hanya bergaji di bawah lima juta rupiah, sementara aku
mendapat tawaran empat kali lipat. Padahal kualitas peneliti di Indonesia
rata-rata bagus. Dan, bagaimanakah nasibku seandainya aku nanti kembali ke
Indonesia? Ah, apakah aku sudah benar-benar memutuskan untuk kembali ke
Indonesia? Bagaimana pula hati Emakku jika aku bergeming di sini?
***
Selesai
mengemasi buku-buku referensi di perpustakaan, aku belum ingin beristirahat di
paviliun. Iseng-iseng aku membuka akses ke internet. Tawaran beasiswa program
doktor dari Canada belum juga kujawab, sebagaimana tawaran Pemerintah Malaysia.
Aku buka emailku:
Tanggal :
Minggu, 20 Mei 2007 03;25;46 -0700 (PDT)
Dari :
Dewi Surtikanthi <surtikanthi_devi@yahoo.co.id>
Subyek :
Keberangkatan delegasi kesenian Gadung Melati
Kepada :
masmarto@yahoo.com
Salam kangen dari emak
Salam kangen banget dari Aku
Mas Mur, dalam genap empat puluh hari kepergian Bapak,
kemarin Emak bersama trubus aku ajak ke Yogya. Meskipun tidak mudah membujuk
Emak –aku terkekeh mendengar jawaban Emak yang berbelit-belit- Emak akhirnya
mau juga ke Yogya. Terutama karena Trubus terus membujuk. Emaknya untuk
sekali-kali keluar dari sarang yang dihuninya sejak lahir (ini kata Trubus
sendiri lho !).
Dan tentang kunjungan muhibah misi kebudayaan
Indonesia, kami kemarin telah mendapat lampu hijau dari pihak sponsor. Intinya,
bulan depan kami jadi ke Kuala Lumpur. Detail rencana kegiatan masih menunggu
konfirmasi dari atase kebudayaan.
Dan kalau mas Mur ungin terkejut, rombongan Gadung
Melati bersama Pak Kepala Desa akan ikut rombongan ke KBRI di Kuala Lumpur.
Jadi, siap-siaplah untuk terkejut! Siapa tahu ada kejutan tambahan. Hehehe !
Demikian dulu, Mas Mur silakan mandi yang wangi ya !
Cium mesra dari Aku
----000----
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Catatan
kaki :
Oogenesis :
Asal-usul pertumbuhan dan perkembangan sel telur (KBBI, 799)
Mencit : Tikus putih kecil (KBBI, 731)
Ovari :
Indung telur (KBBI, 805)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar