Gadung Melati; Cerpen Hendro Martono - KSS3G Temanggung
Keluarga Studi Sastra 3 Gunung

Breaking

Home Top Ad

Selamat Datang di KSS3G Temanggung

Selasa, 11 September 2018

Gadung Melati; Cerpen Hendro Martono



Gadung Melati

         Banjarrejo. Desa yang malas bersolek. Bahkan jika mendiang Umar Kayam menulis ulang “Para Priyayi” akan terkejut karena Banjarrejo tak ubahnya Wanagalih di kala itu. Desa ini terletak di pinggir jalan Daendels. Aku hanya berani menyebut desa ini, karena sesungguhnya desaku ada di arah pedalaman hutan jati. Desa Pelem Gadung.
        “Beli monyet saya, Oom! Murah. Cuma seribu rupiah kok!” Kataku pada seorang lelaki yang baru turun dari mobil. Diikuti perempuan cantik, kukira itu isterinya, bersama dua putri kecil yang menyamai kecantikan perempuan yang kuduga ibunya itu.
        “Terima kasih. Aku cuma mau istirahat sambil minum degan!” Kata lelaki itu sambil tersenyum.
“Tolonglah, Oom! Buat biaya sekolah, Oom!” Aku tak tahu, apakah perkataanku benar. Di desaku, biaya sekolah hanya dibayar dengan seikat ketela atau jagung. Dan hanya ada satu SD di tahun  70-an itu. Selepas SD kebanya- 
kan dari kami hanya berladang dan menggembala sapi, mengikuti naluri denyut hidup yang selaras dengan kawasan hutan jati. Di kala senggang, para lelaki akan berburu monyet, dan dijajakan di pinggir jalan Daendels ini.
         Lelaki itu cuma tersenyum. Dipesannya minuman degan pada Mbokdhe Legi.
        Aku cuma bisa menelan ludah menyaksikan keluarga yang tampaknya kaya dan bahagia itu. Kuamati patung Gubernur Suryo di tengah taman di pinggir hutan jati. Aku tidak tahu, siapa yang ditunjuk oleh patung itu. Nasib burukku yang hidup di desa dan tak pernah berubah ini? Para pejalan yang melintas jalan raya Daendels dan tak pernah mau peduli pada kami?
        “Mas, kemarilah!” Tiba-tiba lelaki itu memanggil.
        Aku tak berani mendekat.
         Keluarga yang kuduga kaya itu duduk lesehan di atas tikar pandan. “Ke sini!” kata lelaki itu lagi sambil melambaikan tangan.
         Seakan ada magnet yang menggerakkan kakiku. Aku tak berpikiran apa-apa selain mendekat pada keluarga itu.
         “Siapa namamu, Cah bagus?” Kini perempuan yang kuduga istri lelaki itu bertanya.
        “Mur, nyonya! Muruba.”
         “Muruba?” tanya perempuan itu lagi seakan tak percaya dengan namaku.
        “Ya, nyonya!”
         “Luar biasa! Semoga menyala dan bercahaya hidupmu, Mas!” Lelaki itu menimpali.
        “Berapa umurmu?” Nyonya itu bertanya lagi.
        “Tidak tahu!”
         Kedua orang tua itu mengernyitkan alis. “Lha, sekarang Mas sudah kelas berapa?”
       “Enam, tuan!”
         “Mau sekolah di Yogya?”                                                                    
        Dan selang beberapa lama kulihat Emak hanya dapat tersimpuh ketika Pak Harsono, lelaki itu, meminta Emak untuk melepaskan aku pergi ke Yogya. Entahlah, di mana kota itu. Ketika itu.
***
          Hutan Lipur Tanjung Gadung. Nama yang mirip dengan desaku nun jauh di pinggir hutan jati. Terletak di Hutan Simpan Bukit Bauk, Daerah Dungun. Berjarak 11 km dari Bandar Dungun melalui jalan raya Dungun-Kuala Terengganu, 70 km dari Kuala Terengganu. Untuk sampai ke hutan ini, pengunjung dapat menggunakan kendaraan sendiri atau angkutan umum dari Bandar Dungun.
         Sebagian dari tempat ini lebih mirip sebagai hutan wisata. Banyak orang berkunjung dan berkemah. Juga bermandi-ria. Memancing di payau atau di danau yang jernih airnya. Atau sekadar bermain sambil menikmati keindahan alam hutan yang masih asri. Kadang-kadang datang serombongan orang-orang kota yang ingin berlibur sambil menghirup udara hutan.
          Meski demikian, agak jauh ke dalam, di balik pagar berduri yang rapat di seberang sungai Kuala Hitam, orang dapat melihat kehidupan liar di dalam hutan. Lengking rusa yang sedang mencari pasangannya. Atau auman harimau yang hendak menerkam mangsanya. Teriakan monyet yang bergelantungan di dahan tinggi. Atau sekadar mendengar desau angin di tengah rimbunnya hutan.
        Di batas hutan, terhampar pesisir pantai Laut China Selatan. Aku cukup menatap dari balik jendela paviliun, di belakang laboratorium, maka ombak akan tampak memukul-mukul pantai. Tanpa mengenal lelah, sepanjang zaman ombak akan terus menampar-nampar hamparan pasir putih itu. Seperti tamparan Emak dengan perkataan yang menyentak perasaan maluku.
       “Kamu harus pulang, le! Sebelum aku pergi menyusul bapakmu, aku ingin sekali mencium bau keringatmu! Keringat yang kautumpahkan dari kuda di selangkanganmu. Sudah lama desa kita sepi. Tak ada lagi anak-anak yang mau memainkan kuda lumping.” Begitu kata Emak, melalui coretan tangan adikku dalam surat yang kuterima setahun lalu.                                           
Aku tergidik. Aku telah jauh meninggalkan masa laluku. Sudah berapa tahunkah ayah meninggal? Apakah sejak itu juga tidak ada lagi tukang timbul? Bagaimana keadaan Emak sekarang? Apakah masih seteduh telaga di tengah hutan, tempat dongengan tentang cupu manik Dewi Anjani? Ah, ya! Bagaimana pula Pak Harsono, guru SMA-ku di Yogya yang mendorongku memenuhi panggilan dari Universitas Kebangsaan ini?
Aku masih ingat bagaimana perasaan galau menyergap segenap kesadaranku. Keinginanku untuk melanjutkan pendidikan terbuka lebar, begitu lamaran yang kukirim ke UKM diterima. Aku tak sempat berpamitan pada Emak, kecuali mengirim surat pendek yang kutulis dengan tergesa-gesa. Aku sampaikan permintaan doa restu Emak, juga harapanku untuk membuka lembaran kehidupan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
“Mas Mur, ini kesempatan yang belum tentu datang dua kali. Sekali engkau membatalkan keberangkatan kali ini, mungkin semua impianmu terkubur dalam penyesalan sepanjang umur!” kata Pak Harsono ketika itu.
“Ayahku bagaimana? Rasanya ayah ingin menahanku barang sekejap, meskipun dalam batinnya!” sergahku. Aku ingin sekali pulang lebih dulu ke Pelem Gadung. Menemui Emak, dan terutama menengok ayah yang tergolek tanpa daya di atas dipan peninggalan kakek.
Pak Harsono terdiam. Dia mungkin juga bimbang dengan kegalauanku. “Memang pilihan yang tidak mudah untuk diambil, Mur!” kata Pak Harsono yang juga tidak memberi pilihan yang mudah.
Kabar dari Emak, lewat surat yang begitu terlambat kuterima di Yogya menjelang keberangkatanku ke Malaysia, ayahku sedang menjemput maut di tengah sakit menahun yang terus disembunyikannya. Jika semula ayah hanya mengaku rematik, dan Emak dengan tekun mengais tanaman umbi gadung di pinggir hutan untuk mengobati sakit ayahku, kini ayah tak bisa lagi membohongi keluarganya.  
       Ayah mengalami proses pengeroposan tulang. Kakinya memendek sebelah. Kalau berjalan tertatih-tatih sambil menyeringai, sebelum akhirnya lumpuh. Dan dalam penderitaan yang merambat pelan sepanjang bulan-bulan terakhir kehidupannya, kami tak bisa lagi berbuat apa pun, kecuali bermunajad kepada-Nya. Memohon mukjizat buat kesembuhan ayahku.                                          
Aku hanya bisa menjerit dalam diam yang sesak, ketika pesawat membawaku melintasi kota-kota, melampaui hamparan sawah, dan melampaukan semua kenangan di desa. Tanpa sadar segala ingatanku seakan tertinggal di rumah, di desa Pelem Gadung di pinggiran hutan jati. Jalan menikung yang menghubungkan desaku dengan jalan raya Daendels semakin jauh dari ingatanku.
***
Aku tengah menyiapkan bab terakhir tesis masterku. Juga ringkasan hasil riset yang akan kukirim ke jurnal di http://worldforestry.journal.ukm.ac.id. Hatiku mengembang ketika uji laboratorium menunjukkan hasil positif. Penelitian yang kulakukan berfokus tentang pengaruh pemberian perasan umbi gadung terhadap oogenesis mencit. Penelitianku menemukan, ternyata perasan umbi gadung menghambat siklus ovarii yang dampaknya memengaruhi fungsi oogenesis.
          Dan mengapa harus umbi gadung? Ada perasaan aneh yang tiba-tiba menjalar dalam benakku. Perasaan kikuk, malu bercampur kagum ketika Emak –dalam surat yang ditulis oleh adikku- dengan sangat enteng mencemooh proposal riset tentang khasiat umbi gadung yang kuceritakan.
 “Walah, le. Begitu jauh engkau menimba ilmu di negeri orang. Lha, kalau hanya mau belajar umbi gadung, di desamu kan banyak. Tinggal pergi ke belakang rumah, di sepanjang pagar lamtoro itu kamu kan tinggal milih. Bahkan kalau engkau tetap di desa, engkau bisa ikut nguri-uri kebanggaan orang-orang tua!” Maksudnya, kesenian kuda lumping di desa kami yang kata Emak kini tak mampu menawan hati anak-anak muda.
Emak mungkin salah pendapat jika aku harus tetap terbenam di desa yang tak pernah berkembang itu. Namun Emak juga benar. Bahkan aku harus tertawa sendiri ketika teringat masa kecilku bermain layang-layang dari daun gadung yang telah mengering. Ketika anak-anak yang lebih besar dapat menerbangkan bapangan yang ditarik dengan kenur, serat pohon waru yang dipilin memanjang, aku bersama anak-anak sebaya hanya bisa memandangi mereka.                     
Sudah lazim di desaku, ketika musim kemarau tiba kami mulai menekuri jalan tradisi yang diwariskan para leluhur kami. Nasi jagung mulai berkurang. Lalu kami akan segera mengais umbi gadung di dalam tanah yang mulai retak di pinggir hutan. Sebuah ritual kanak-kanak yang kami jalani tanpa diajari. Seperti juga ketika kami dengan rakus merambah lamtoro muda, dengan berbekal garam sejumput, lalu kami akan rujakan.
         Kami sudah terbiasa makan umbi gadung meskipun beracun. Agar dapat dimakan, kami mempunyai teknologi sendiri. Mula-mula umbi dipotong tipis-tipis, kemudian direndam dalam air yang telah dibubuhi garam. Umbi terus dialiri air sampai air cuciannya tidak berwarna putih. Setelah itu dijemur di panas matahari. Barulah dikukus. Barulah dimakan. Barulah kami kenyang sambil mengelus perut yang membuncit.
Tidak lupa, kami pun memetik daun gadung yang mulai kering. Kami akan membuat layang-layang. Dan ketika angin hutan tak kunjung datang, kami pun akan memanggil-manggil dengan tembang-tembang alam yang kami hafal. //Barat.. barat mreneya; ulukna layanganku; tak upahi sega tahu… (Angin…angin… ke sinilah; terbangkan layang-layangku; nanti aku beri upah nasih tahu)//

Kami akan mengulang-ulang panggilan itu sampai angin datang. Dan kami pun akan bersorak kegirangan, sampai-sampai kaki kami terlonjak. Lalu kami pun berlari menerbangkan layang-layang dari daun gadung itu. Kami ambil serat kulit pisang kering sebagai tali penarik. Begitulah seharian kami bisa menikmati sebuah kegembiraan yang tak mungkin dimiliki anak-anak kota.  
            Bila purnama tiba –dan aku pulang liburan semasa sekolah di Yogya dulu- para lelaki di desa kami akan berkumpul di tanah lapang, di depan balai desa. Kami akan memainkan kesenian kuda lumping. Kami punya paguyuban seni “Gadung Melati” dengan enam set kuda kepang dan satu topeng kepala kuda yang terbuat dari kayu. Seperti biasa, anak-anak dan perempuan akan mengitari lapangan dan pada saatnya nanti bersorak mengiringi pemain yang mulai kesurupan                                                                                                                                                 
          Ditingkahi gendang rampak dan tetabuhan yang makin bersemangat, di sela-sela lecutan cemeti yang membelah udara malam, kami pun makin kesetanan memainkan gerak kuda lumping. Pada saat kesadaran kami mulai melayang, kami pun dengan napas mendengus mulai menggigit, mengunyah, dan menelan kaca semprong, diiringi jerit kengerian para penonton.
         Ketika iringan gamelan mulai reda, ayahku akan tampil untuk nimbul pemain yang kesurupan. Pemain kuda lumping itu akan mulai merasakan keletihan yang luar biasa, karena dalam keadaan trace kami seakan tak punya pusar. Bergerak dengan kecepatan tinggi dalam tarian prajurit berkuda sepanjang tiga empat jam tanpa henti. Bahkan kami juga tak merasakan pedih, meski lidah dan bibir kami berdarah-darah.
***
         “Tuan Muruba, tehnya telah siap di beranda!” Tiba-tiba Sri memecah konsentrasiku. Perempuan lima puluh tahunan itu seolah menyadarkan keberadaanku di sini. Menurut ceritanya, ia telah empat belas tahun terakhir ini bekerja di kompleks pegawai kehutanan. Semula ia bekerja di perusahaan perkebunan karet di seberang hutan Tanjung Gadung.
         Namun semenjak Pemerintah Malaysia mengancam akan mendeportasi para pendatang haram, termasuk Sri yang diselundupkan masuk tanpa dokumen keimigrasian, aku mengakukan dia sebagai saudara tuaku. Betapa pun ganjil pengakuan ini, tentu juga berkat bantuan teman-teman di konsulat Terengganu nyatanya Sri aman dari incaran polisi diraja.  
“Tuan, tehnya hampir dingin !” Sri ingin mengingatkanku
“Terima kasih mbakyu!” Aku risih juga dipanggil dengan sebutan itu, betapa pun sejak semula Sri sudah kularang menyebut ‘Tuan’ di depan namaku.
          Waktu itu Sri berkilah, “Nanti saya kualat, Tuan. Saya telah berutang nyawa pada Tuan. Kalau bukan karena kebaikan Tuan, saya pasti kembali terapung-apung di laut tanpa kepastian!”
          “Sudahlah. Ingat, mbakyu! Aku juga berasal dari Indonesia. Malah jauh di pedalaman, di pinggiran hutan”. Aku ingin menghibur wanita asal Pacitan, yang mengaku telah menjanda itu. Kabarnya, suami yang ditinggal di Pacitan telah kawin lagi dengan tetangga. “Oh ya, mbakyu jadi mau pulang?”
          “Kalau Tuan mengizinkan!” jawabnya sambil tertunduk. Maksudnya, Sri mau pulang jika sekiranya studiku rampung dan aku segera kembali ke Indonesia.
          Permintaan Sri wajar saja. Namun pikiranku cukup risau mengingat tawaran Pemerintah Malaysia yang memintaku tetap bekerja di sini. Hasil penelitian pendahuluanku telah dipatenkan di sini. Aku pun telah menyetujui kontrak penyerahan hak paten itu pada perusahaan farmasi dengan kompensasi yang membuatku rikuh dengan sejawatku di Indonesia.
           Bayangkan! Peneliti di Indonesia hanya bergaji di bawah lima juta rupiah, sementara aku mendapat tawaran empat kali lipat. Padahal kualitas peneliti di Indonesia rata-rata bagus. Dan, bagaimanakah nasibku seandainya aku nanti kembali ke Indonesia? Ah, apakah aku sudah benar-benar memutuskan untuk kembali ke Indonesia? Bagaimana pula hati Emakku jika aku bergeming di sini?
***
           Selesai mengemasi buku-buku referensi di perpustakaan, aku belum ingin beristirahat di paviliun. Iseng-iseng aku membuka akses ke internet. Tawaran beasiswa program doktor dari Canada belum juga kujawab, sebagaimana tawaran Pemerintah Malaysia. Aku buka emailku:  
                                                                                                                                                    
Tanggal       : Minggu, 20 Mei 2007  03;25;46  -0700 (PDT)
Dari            : Dewi Surtikanthi <surtikanthi_devi@yahoo.co.id>
Subyek       : Keberangkatan delegasi kesenian Gadung Melati          
Kepada       : masmarto@yahoo.com

Salam kangen dari emak
Salam kangen banget dari Aku

Mas Mur, dalam genap empat puluh hari kepergian Bapak, kemarin Emak bersama trubus aku ajak ke Yogya. Meskipun tidak mudah membujuk Emak –aku terkekeh mendengar jawaban Emak yang berbelit-belit- Emak akhirnya mau juga ke Yogya. Terutama karena Trubus terus membujuk. Emaknya untuk sekali-kali keluar dari sarang yang dihuninya sejak lahir (ini kata Trubus sendiri lho !).
Dan tentang kunjungan muhibah misi kebudayaan Indonesia, kami kemarin telah mendapat lampu hijau dari pihak sponsor. Intinya, bulan depan kami jadi ke Kuala Lumpur. Detail rencana kegiatan masih menunggu konfirmasi dari atase kebudayaan.
Dan kalau mas Mur ungin terkejut, rombongan Gadung Melati bersama Pak Kepala Desa akan ikut rombongan ke KBRI di Kuala Lumpur. Jadi, siap-siaplah untuk terkejut! Siapa tahu ada kejutan tambahan. Hehehe !
Demikian dulu, Mas Mur silakan mandi yang wangi ya !
Cium mesra dari Aku
----000----
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Catatan kaki :
Oogenesis        : Asal-usul pertumbuhan dan perkembangan sel telur (KBBI, 799)
Mencit             : Tikus putih kecil (KBBI, 731)
Ovari               : Indung telur (KBBI, 805)
                                                                                                                                                   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

test banner
SALAM SASTRA

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here