Ida Moerid Darmanto: Belum Layak Disebut Penyair - KSS3G Temanggung
Keluarga Studi Sastra 3 Gunung

Breaking

Home Top Ad

Selamat Datang di KSS3G Temanggung

Jumat, 01 April 2016

Ida Moerid Darmanto: Belum Layak Disebut Penyair

CHEN KONDHANG

29 Mei 2015 1:45 WIB Category: SmCetakSuara Kedu A+ / A-
KENDATI termasuk salah satu penulis puisi dalam buku antologi puisi Progo 3 yang diterbitkan Keluarga Studi Sastra Tiga Gunung (KSS3G) Temanggung, belum lama ini, namun Ida Moerid Darmanto (40 tahun) merasa belum layak disebut sebagai penyair. ‘
’Sampai saat ini, saya sebenarnya masih belajar menulis puisi. Karena itu, berat untuk disebut sebagai penyair, bahkan saya belum layak menyandang predikat itu,’’ ujar ibu dua anak tersebut.
Menurut dia, penyair merupakan predikat yang memiliki berbagai konsekuensi terhadap karya sastra yang dihasilkannya. Sebab, karya sastra dari seorang yang telah disebut penyair biasanya lalu akan banyak dijadikan referensi atau rujukan bagi orang lain dalam belajar sastra, khususnya puisi.
’’Setidaknya karya dari seorang berpredikat penyair, biasanya akan menjadi referensi bagi guru atau para siswa di sekolah ketika mereka belajar sastra,’’ tuturnya.
Lantaran menjadi referensi itulah, maka sebagai konsekuensinya, seorang yang telah menyandang predikat sebagai penyair harus menghasilkan karya sastra bermutu dan sempurna menurut kaidah kesusastraan. Baik dalam hal penulisan, pilihan bahasa, maupun makna filosofis yang terkandung didalamnya.
’’Kalau puisi atau karya sastra yang dihasilkan itu masih banyak kekurangan, maka bagaimana mau bisa dijadikan referensi bagi orang lain,’’katanya. Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang itu menyumbangkan tujuh puisi dalam antologi puisi ’’Progo 3’’.
Yakni berjudul, Al Anam Lima Puluh Tiga, Lilin, Asa yang Tersisa, Aku Harus Berhenti di Sini, Cinta Seperti Rembulan, Di Bawah juga Indah, dan Asa Masa Lalu . Diakuinya, dari puisi-puisi yang telah ditulisnya itu, setelah dicermati dan mendapatkan masukan dari teman-temannya, ada beberapa kekurangan di dalamnya.
Salah satunya, dalam hal penulisan ejaan dan bahasanya. ’’Kekurangan itulah yang membuat saya merasa berat disebut sebagai penyair. Meski dari kekurangan itu, lalu memacu saya lebih banyak belajar lagi, agar ke depan dapat menghasilkan karya yang lebih baik,’’tuturnya.
Ida mengungkapkan, belajar menulis secara otodidak, yakni awalnya dengan membaca puisi beberapa penyair, seperti Gunawan Mohamad, Sujewo Tedjo, dan lain-lain, baik yang ditulis di media massa atau yang telah dibukukan. Berawal dari membaca itu, kemudian dia belajar membuat coretan-coretan puisi sendiri.
’’Setiap menemukan kata-kata baru dalam puisi yang saya baca, lalu saya kumpulkan dan dicarikan artinya dalam kamus bahasa Indonesia. Sehingga, kata-kata itu kini telah menjadi kamus pribadi saya,’’tambahnya. Dikatakannya, sastrawan senior Temanggung, Roso Titi Sarkoro, yang juga merupakan Ketua KSS3G, berperan besar dalam membimbing dirinya belajar menulis puisi. (Henry Sofyan-32)

2 komentar:

test banner
SALAM SASTRA

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here